Bahasa??? Apakah Kau Tau Tentang Bahasa Sebenarnya???

Karya Sebagai Sebuah Dialog

Apa yang lekat di benak Anda saat mendengar kata “penulis”? Mungkin Anda akan membayangkan seseorang yang asosial, gemar merenung, menyendiri, dan kesepian. Satu-satunya gemuruh yang menemaninya hanyalah kelebatan ide dan gagasan riuh-rendah di kepalanya.

Orang mungkin beranggapan bahwa inspirasi adalah fenomena yang tumbuh di jalanan ide dan lalu-lintas gagasan, lalu dipetik dan disemai di dalam kepala penulis. Memang inspirasi dipupuk oleh pengalaman hidup. Akan tetapi pengalaman hidup tidaklah tumbuh di jalanan lengang. Pengalaman
matang oleh hantaman, benturan, tercampakkan oleh ujian, dan teruji oleh kekecewaan. Penulis mampu menggali inspirasi karena terus mendialogkan pengalaman dengan penghayatannya terhadap hidup. Sebuah pohon pengalaman yang sederhana di penglihatan telanjang orang awam dapat dikemas oleh
penulis mumpuni menjadi pohon yang berbuah hikmah dan pelajaran.

Seorang penulis, dengan demikian, adalah dia yang membangun gubuk asketiknya di tengah keramaian. Penulis selayaknya mampu berkiprah di keramaian dan merenung di saat yang sama. Penulis pengabdikan diri kepada kemanusiaan, dengan menciptakan karya-karya yang sarat perenungan dan dekat dengan realitas sosial.

*Jangan Abaikan Pembaca!*

Karya tidak terlahir dari ruang vakum, menurut Bakhtin, melainkan tercipta dari sebuah dialog. Karya sastra adalah produk ideologis, yang dengannya penulis merespon sebuah fenomena sosial dengan pemahaman dan penghayatannya. Salah satu jejaring dialektikal itu adalah dialog dengan
pembaca. Penulis yang menyadari bahwa sesungguhnya dia sedang berbincang dengan pembaca niscaya tidak hanya berusaha untuk menuangkan gagasan dengan baik, namun juga menjadi komunikator ulung. Memang, salah satu tantangan penulis dalam menciptakan dialog adalah tidak adanya respon seketika dari pembaca. Teman dialog dalam proses menulis eksis dalam wilayah imajiner
penulis. Dia memberikan masukan dan respon terhadap ide dan gagasan penulis. Singkat kata, pembaca selayaknya selalu dihadirkan dalam benak penulis saat berkarya.

Salah seorang teladan komunikator handal adalah Rasulullah SAW. Efektivitas dakwah beliau merupakan buah komunikasi yang tepat sasaran dan disampaikan dengan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik pendengar. Rasulullah SAW, konon menggunakan bahasa dan metode yang berbeda setiap kali berdakwah, sesuai dengan target pendengarnya. Sebagai salah satu sarana komunikasi, menulis pun berada dalam ruang dialog tersebut. Menulis tidak hanya untuk dimengerti dan dipahami, namun juga untuk melayani pembaca, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Mengapa saya merujuk kepada pembaca, dan bukan “pembeli karya”? Salah satu problem spesifik dalam era kapitalistik ini adalah pemasaran karya. Sebuah karya bisa jadi sangat komunikatif dan menarik, namun tingkat pemasarannya tidak meraih prestasi yang (menurut standar penerbit) “dapat
dibanggakan,” sehingga diminati oleh mayoritas pembeli. Saya memisahkan “pembeli buku” dan “pembaca karya” karena dua alasan. Pertama, para pembeli adalah pelaku pasar yang berperan dalam menentukan angka keberhasilan penjualan karya. Satu hal yang tidak digambarkan oleh angka ini adalah
kesuksesan sebuah karya dalam menggugah, memikat, dan mengembangkan pembaca. Pembaca karya adalah mereka seharusnya terlibat dan dipertimbangkan dalam proses berkarya. Dibandingkan dengan pembaca, pembeli relatif berada di luar jangkauan penulis karena perilaku pasar cenderung dipengaruhi oleh budaya populer dan aktualitas yang bersifat sesaat. Kedua, tingkat penjualan hanya
mencerminkan lintas keterserapan buku, sedangkan karya memiliki media sebaran yang lebih luas, yang meliputi media online juga cetak, dalam format harian atau majalah. Di samping itu, di negara yang budaya literasinya sedang tumbuh seperti Indonesia, sukses penjualan tidak selalu mencerminkan
tingkat keterserapan buku. Pembaca bisa menikmati karya dengan meminjam, memperbanyak, atau mengakses versi online sebuah karya.

Jadi, bagaimana penulis bisa menghasilkan karya yang berkualitas dan bisa diserap pasar? Saya cenderung menghindari cara pandang dikotomis. Dalam paradigma kapitalistik, penciptaan karya adalah upaya spekulatif. Sementara selera pasar berada di luar kendali pencipta karya, tugas penting
penulis adalah melibatkan pembaca dalam proses mencipta. Menulis bukan masturbasi; upaya memuaskan diri sendiri. Karya yang mampu memuaskan, apalagi mencerahkan pembaca, setidaknya memiliki peluang lebih baik untuk diserap oleh lalu-lintas pasar.

*Memikat Pembaca Sejak Kalimat Pertama*

Apa yang membuat Anda bertahan dalam sebuah perbincangan? Anda dan teman berbincang Anda mungkin terpaut oleh minat dan kepentingan yang sama. Namun sebuah perbincangan sering bertahan lama karena ada kebaruan-kebaruan yang terus tumbuh. Ada tema-tema, yang meskipun usang,
namun dikemas dengan sudut pandang baru. Sebuah perbincangan hidup karena minat yang tertambat, bahkan sejak saat pertama.

Pembaca perlu ditambatkan minatnya bahkan sejak kalimat pertama. Paragraf pembuka menentukan apakah pembaca akan meneruskan membaca atau tidak. Pengantar yang panjang dan bertele-tele cenderung kurang disukai dan dianggap tidak menarik. Untuk memikat pembaca, paragraf pertama bisa memuat elemen sebagai berikut:

1. Memberi *clue *permasalahan, baik berupa dialog, atau deskripsi
singkat konflik.

2. Penjelasan *setting* yang tidak biasa.

3. Dialog yang menggambarkan pengembangan karakter.

Setelah menambatkan pembaca dengan paragraf pertama, tugas penulis berikutnya adalah mempertahankan atensi pembaca dengan menjaga konsistensi alur, konflik, dan mengembangkan karakter cerita. Pembaca juga selayaknya dilayani dengan menawarkan gaya bertutur yang segar dan baru. Menggunakan metafora yang lazim digunakan semisal “seperti kerbau dicocok hidung” tentu
tidak menawarkan apa-apa selain pengetahuan kebahasaan yang usang. Penulis perlu membuat “kuburan kata-kata dan metafora.” Masukkan sebanyak mungkin kata-kata metafora “klise” dalam daftar kuburan tersebut, dan buatlah daftar perbendaharaan baru.


Baca Selengkapnya...

Hati Buta Dunia Hampa

Bumi berputar mengilingi matahari, bulan berputar mengelilingi bumi, hingga waktu terus bergulir tak pernah henti. Tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari, bulan dan tahun tak pernah dan takkan pernah terhitung kelalaian yang tercipta, kasalahan yang diperbuat, dan dosa yang tercatat malaikat. Kelalaian yang tercipta karena terpesona oleh waktu. Kesalahan yang diperbuat karena kecerobohan diri dan dosa yang tercatatat karena terbuai bisikan sekutu.


Ketika terlahir kedunia yang begitu indah, meski belum terlihat oleh mata. Kilauan air mata bak mutiara terpancar kehangatan, membasahi pipi. Senyuman manis memberikan sejuta harapan, belaian kasih sayang terkuak sudah, kala terdengar tangisan pertama. Meski terus menerus membuat hati gundah.


Ketika mata telah benar – benar menyaksikan keagungan sang pencipta, ketika kaki mulai berpijak ke bumi dan kemudian berlari. Menikmati milikmu ya Allah. Diri yang tercipta hanya untuk mengabdi kepada Mu, hati yang merasa hanya jalan penghubung antara aku dan kau, merasakan ayat – ayat yang terucap oleh Mu. Jalankan perintah sesuai Rosul-Mu.


Namun, hati yang merasa buta karena diri yang terbuai waktu, yang berikan sejuta bisikan kebohongan, kesombongan dan keangkuhan seperti diri tak kenal Engkau. Seperti diri tak kenal tujuan hidup, diri yang kemudian lalai membuat hati lupakan keagungan Engkau. Waktu terbuang tanpa amal atau bekal diri menuju tempat terindahmu.


Semua yang tercipta oleh Mu membuat semua mata berlinang, hingga lupa akan tugas, kewajiban untuk mengabdi kepada-Mu. Mata yang selalu disajikan keindahan membuat hati beku, buta, hampa, dan mati rasa. Tinggalkan ayat – ayat mu dalam selimut debu, lupakan perintah tanpa sadar, akan azab dan peringatan yang kau beri.


Hati yang buta sudah terasa kini dalam diri, membuat jauh dari engkau, membuat setiap waktu menjadi suatu kesalahan, tak tahu apa guna waktu tercipta. Lisan yang tajam mencabik diri dengan ucapan untuk berputus asa, dan dosa yang tercatatat sudah, membuat diri menjadi bahan bakar neraka.


Diri yang tak berguna membuat dunia hampa, gelap gulita tanpa cahaya, penerang jalan untuk perbaiki dosa untuk mempersembahkan kembali ibadah terindah.

Akan kah dosa yang menggunung, yang tercatat tertutupi amal – amal yang akan membawa ke surga-Mu. Akankah taubat diri yang berlumur dosa akan diterima dan diampuni, menjadikan diri kembali suci tanpa ada rasa buta di mata, tanpa ada rasa hampa didunia.[?].

karya:Mahmud

Baca Selengkapnya...